Laman

12 Okt 2013

Euforia Karantina



I still feel the wind which washed over my body. I still hear the sound of trumpets, drums, and strings. I still remember how everybody sing along together. I still feel the pillow which is so uncomfortable but took me to a sweet dream. I still hear the laughing voices to every jokes we made. I still remember how we stay awake at night. I remember the voices of the most patience mentors. I remember when we talked with new people, and making new friends. I even remember the last day, when we refused to go home.

Ya, euforia. Setelah adik saya mencoba membunuh kami berdua  dengan menerbangkan motornya ketika ada polisi tidur, saya langsung keluar kalimat kalimat yang sejujurnya saya ga ngerti artinya apa.
26 September 2013, hari Kamis, tepatnya, saya dan Swarna Gita 39 menjadi salah satu sekolah yang paduan suaranya dipilih untuk bernyanyi pada upacara Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya—yang tentunya disaksikan langsung oleh presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono.

Dan pada hari itu, kami dikirim untuk…………….karantina 5 hari!!!! Apa artinya? DISPENSASI!!!!!!!!!!!!!!

Makin bego dah abis dispen tiga kali kemaren. Pak Gusriwan, guru Kimia saya, kayaknya sampe shalawatan gara-gara saya, Monic, dan Chandra ga ngerti apa-apa. 

Pada kesempatan yang tidak berbahagia ini (karena saya eksperimen memasak ternyata fail total), saya akan berbagi kisah saya yang gabakal saya lupain tentang karantina di Padepokan Pencak Silat.