Laman

1 Jun 2015

Bebeknya Masih Ada.

Jumat kemarin, saya dan Mama memutuskan untuk mentraktir beberapa teman-teman dan guru-guru di sekolah.

Hitung-hitung, ini sekalian makan-makan terakhir saya sama guru-guru, atau mungkin masih ada kesempatan, sih, cuman pasti kecil banget kesempatannya.

Saya memutuskan mengajak empat guru terdekat saya ; Pak K. Sitinjak, Pak Maurid Panjaitan, Bu Endang Adji, dan Bu Wulandari. Beliau-beliau ini adalah Tim Hore saya di sekolah ketika saya mau menghadapi suatu ujian, Try Out, dan semacamnya. Dan kebetulan saya sudah mengenal mereka dari saya masih embrio di SMA, dan beliau-beliau sangat baik kepadaku, ah, jadi terharu.

Mama mendukung keputusan saya untuk mentraktir beliau-beliau ini. Mengingat saya (Alhamdulillah) sudah dapat PTN, jadi saya banyak waktu luang.

Karena saya dan Mama gaya-gayaan mau nraktir padahal dompet kami tipis, kami bingung.

Akhirnya kami memutuskan ngadalin Papa.

"Ma, traktir dimana, nih, guru-guru?"

"Em, dimana ya, Pizza aja deh!"

Tentu saja guru-guru makan Pizza itu biasa banget. Malah w suruh bayar sendiri kali. (Enggak, ini emang karena dompet gue tipis banget.)

Kemudian, Papa, dengan wajah heroik dan saat itu masih pake kaos oblong abis pulang kerja, menoleh cepat.

"Ngaco kalian. Mana mau guru-guru makan Pizza! Kamu nih ada-ada aja, Mira! Cari yang lebih cocok dikit buat traktir orang-orang yang lebih tua!"

"Apaan dong," saya pura-pura bego. Eh, engga, emang saat itu bego karena emang ga kepikiran.

"Papa saranin sih di McD."

"PAPA KIRA PAK SITINJAK MAU ULANGTAHUN YANG KE LIMA TAHUN TERUS PERLU BADUT MCD DAN MINTA GENDONG ABIS ITU DIKASIH KUE ULANGTAHUN SAMBIL MAIN PEROSOTAN SAMBIL DISALAMIN ANAK-ANAK SEBAYANYA TERUS DICIUM PIPI KANAN KIRI SAMA MAMAPAPANYA, PA?! YANG BENER AJA!"

"LAH EMANG ENGGA?!"

Papa saya menyedihkan.

Akhirnya mencoba serius dikit, Papa saran di Bebek Tepi Sawah, makanannya enak banget, memang, khas Bali. Saya waktu itu makan, porsinya besar sekali, dan saya ga sanggup makan dua hari.

"Kalo disitu, Papa yang bayar, ya." Mama mulai memainkan monopoli pikiran Papa.

"Iye, iye."

Akhirnya Papa fix bayarin. Hore.


Karena gak mungkin saya menjadi orang paling muda di antara Tuan dan Nyonya Besar sekalian, saya memutuskan mengajak beberapa teman, yang (Alhamdulillah) juga sudah mendapat PTN dan banyak waktu luang ; Bunga, Adit, Carlo, dan Bintang (Bintang ini anaknya Bu Wulan yang selalu memaksa saya main ke FH karena cowok-cowoknya katanya ganteng)

Saat itu saya lupa Rayzi masih hidup.




Saya pun mengundang beliau-beliau, dan beliau-beliau sangat antusias, karena ditraktir. Ya emang, saya juga kalo denger kata traktiran bisa berubah jadi tante girang saking senengnya.

Kemudian saya mengajak Bunga, dia paling aneh jawabnya.

"Aduh, Mir, gue terharu banget pengen nangis lu begini... Sedih gue... Iya, Mir, gue mau ikut..."

"Kenapasih lu, Bung."


Sayang sekali, Bintang tidak bisa ikut karena dia mau liburan ke rumah Om-nya. Bintang kau mengkhianati Ibumu dan Bunga.

Jadi, karena Carlo masih belum fix, dan saya pikir untuk gantiin Bintang, saya harus cari satu orang lagi.

Saat itu belum kepikiran Rayzi masih idup.


Hari demi hari berganti, saat itu hari Senin. Saya dan Bunga usai melegalisir SKHUN untuk kelengkapan verifikasi. Kami duduk di bench di depan ruang guru, bersama Pak Sitinjak (yang saat itu mood ngelawaknya lagi tinggi), Bor, dan Rayzi.

Nah saat itulah saya baru ingat Rayzi masih hidup.

Akhirnya, setelah Pak Sitinjak ngomongin Polwan, saya baru inget sama Rayzi.

"Zi! Lo ikut ya hari Jumat traktiran!"

Karena dia jiwa Padangnya sangat kuat, dia langsung  nengok.

"Yok. Dimana?"

"Citos. Ikut ya, Zi!"

"Nebeng yak." Masih Padang.

"Iya gampang ada Adit."


Singkat cerita, Rayzi ikut.


Dan sayang sekali Carlo gabisa ikut karena dia ada school trip. Jadi hanya kami berempat anak mudanya.

Saya ngebayangin Carlo ngoceh Bahasa Inggris pas ngomong sama guru-guru saya.

Paling ujung-ujungnya diusir juga.


Akhirnya, Jumat pun datang.

Pagi-pagi, sekitar jam sepuluh, Adit dan Rayzi udah dateng kerumah, muka mereka lusuh karena kepanasan, tubuh mereka mengindikasikan kelaparan yang luar biasa.

Setelah Rayzi manja-manjaan sama kucing saya, Felix, akhirnya kami berangkat ke Cilandak Town Square.

Sesampainya disana, Mama saya memesan ruang VIP untuk sepuluh orang.

Saat memesan ruang, ada seorang Ibu-Ibu yang menatap Mama saya, wajahnya kayak mau nonjokin Mama. Rayzi, Adit, dan saya bingung. Kami bersiap untuk balik menonjok.

"Bu Sulis!"

Lha, kok ada temen mak w disini!

Dengan ukaknya, kami bertiga salim sama tante ini.

Belum selesai berbincang, tiba-tiba ada yang menghampiri lagi. Ibu ini tersenyum pada saya. Saya ikutan senyum.

"EEEH BU SULIS!"

"EEEH ADA BU BUDI!!!"

LAAAAH!!!!!!!!!!!!!!

Kami bertiga diem lagi, bingung.

Tiba-tiba, satu persatu tante banyak banget yang dateng. Semua menyapa Mama saya.

Yak, itu temen-temen Mama saya semua.

Seperti layaknya Ibu-Ibu lakukan kalo ketemuan, Mama cipika cipiki, ngobrol, ketawa tiwi. Sementara dengan awkwardnya saya, Rayzi, dan Adit ketawa-tawa doang.

Setelah itu, kami duduk, dan ngobrol karena gabut, masih menunggu guru-guru dan Bunga datang.

Segala macam topik kita bicarakan, akhirnya kami memutuskan memesan minum.

Saya dan Adit memesan Pink Lychee, sementara Rayzi memesan Ubud apaaa gitu. Pokoknya GELAS DIA PALING GEDE JIR HERAN THE REAL PADANG.


Tak lama kemudian, Bunga akhirnya datang dengan wajah ceria, girang, dan semangat mau ditraktir.

"Serius dah, Mir, terharu gua."

Dia ga henti-hentinya ngomong ini.


Adit dan Rayzi pun pergi sebentar untuk Sholat Jumat.

Tidak lama kemudian, saya melihat dari kejauhan wajah-wajah yang tidak asing di sekolah. Yang wanita masih menggunakan kebaya encim, sementara yang pria masih menggunakan seragam putih layaknya mau maaf-maafan pas Idul Fitri. Mereka diantar oleh seorang pelayan masuk ke dalam ruangan.

Yang pertama masuk Bu Wulan, yang langsung disambut sama Mama. Kemudian Bu Endang, Pak Maurid, baru Pak Sitinjak. Saya salam sama guru-guru saya, Bunga juga. Dari semuanya, yang paling awkward disalamin itu Pak Maurid.

"EEEEH KITA KETEMU DISINI!"

Saya memasang tampang, "Menurut Bapak kita kenapa ketemu disini?!!"

Pak Sitinjak duduk di depan saya, di sebelah kursi Adit.

Seperti tidak mau dipisahkan dengan kekasih, Pak Maurid duduk di sebelah Pak Sitinjak dan di depan Bunga. Kemudian Bu Endang duduk di sebelah Pak Maurid, dan Bu Wulan paling pojok, di depan Mama saya.

Baru dateng, Pak Sitinjak bertanya, "Ini kemana berdua?" tanya beliau, menunjuk jaket yang tergeletak asal di atas kursi kosong di sebelahnya, dan di sebelah saya.

"Sholat Jumat, Pak."

"Oh, gitu. Kita udah dong, lihat dong bajunya." ujar beliau sambil menunjuk Pak Maurid dan beliau sendiri. Iya, sih, baju koko putih begitu. Kalau begini jadi mau nyanyi lagu Marcell - Peri Cintaku.

 Bu Wulan langsung semangat memulai topik.

"Wah anak UI nih ya, jaket kuning, gimana gimana itu katanya ada grup UI ya kalian bikin? Ngomongin apa aja sih?"

Tiba-tiba Mama ikutan kepo, "Iya ngomongin apa sih kepo nih!"

Mama kenapa.

"Ya saat ini sih lagi ngomongin kelengkapan verifikasi sama daftar ulang buat tanggal 5 nanti, Bu." Jawab saya

"Woh si Bintang itu kemarin kumpul sama anak anak Hukum lho! Kalian kumpul gak?"

"Wah iya nih, Bu, hari ini harusnya FE ngumpul gitu, Bu, cuman saya agak males... Banyak banget orangnya hehehe." Bunga cengegesan.

"Kalo Arsitektur Interior mau ketemuan cuman belum ditentuin Bu tanggal berapanyaa" saya jawab.

 Kemudian beliau bertanya lagi, "Itu siapa yang lagi Sholat Jumat?"

"Itu Adit sama Rayzi, Bu" jawab Bunga

"Adit yang manatuh...?"

"Aditya Triatmaja, Bu" jawab saya

"Oooh Aditya Triatmaja IPA 4 yang pake kacamata itu, ya?"

"IYA BENAR BU BENAR!!!" saya udah kayak EatBulaga.

"Rayzi Rizqika Bu?" tanya Bunga

"Wah Ibu gatau tuh yang mana..."

HAHAHAHAHAHAHAHAHA GO AWAY RAYZI

Kemudian beliau-beliau melihat menu, dan mulai memesan. Pertama-tama memesan minum dulu, Bu Endang belum liat menu, langsung bilang ke pelayan

"Saya mau teh tarik aja, ah, Mas!"

Hebat sekali kekuatan membaca menu tanpa melihat menunya.

Kemudian Bu Wulan melihat minuman yang sedaritadi saya seruput (Iya, saya hampir kembung minum terus.)

"Mir, itu apa? Enak gak?"

"Pink lychee, Enak, kok!" saya sangat bersemangat mempromosikan minuman enak ini. Karena sangat enak. Adit juga sebelumnya saya promosiin sebelum dia memesan. Mungkin suatu hari nanti saya akan menjadi ambassador pink lychee

"Yaudah mas saya pink lychee juga deh, mas."

Saya mengangguk, bangga pada Bu Wulan.


"Bu Wulan pink lychee, ya? Yaudah saya juga deh." ujar Pak Maurid.

"LAH BAPAK KENAPA NGIKUTIN SAYA?!?!?!?!"

Entah kenapa saya berontak pas Pak Maurid pesan ini.

Kemudian Pak Sitinjak memesan Lemon Tea (yang setelahnya beliau ga inget kalau beliau pesen ginian.)

Kemudian kami mulai berbincang-bincang kembali. Saya dan Bunga bercanda-canda soal hal-hal random, kemudian dia minta ditemenin ke iBox karena iPodnya gabisa nyala. Ya, saya ingin sekali menjual iPod pink Bunga.

Bu Endang, Bu Wulan, dan Mama saya asyik berbincang-bincang "Masalah Ibuk-Ibuk", kalau kata Pak Maurid.

Sementara Pak Maurid dan Pak Sitinjak... seperti couple baru jadian, sama-sama melihat ke layar HP Pak Maurid yang pemiliknya tampak menunjukkan sesuatu sambil terkekeh kecil dan menggumamkan sesuatu yang tidak saya mengerti dengan Bahasa Batak. Pak Sitinjak ngeliat layarnya sebentar, tiga detik, sebelum dia menyadari bahwa apa yang ditunjukkan Pak Maurid gak kebaca karena beliau tidak pake kacamata.

Kemudian setelah buru-buru menggunakan kacamatanya, baru beliau ikut tertawa. Ah, betapa romantisnya. Saya mencoba meniru Pak Sitinjak dan Pak Maurid dengan Bunga. Eh Bunga malah marah-marah. Dikira lesbi.

Kemudian dengan cepat minumannya datang. Selagi waiter-nya menghidangkan minuman yang saat itu baru pink lychee dan teh tarik Bu Endang yang datang, mereka memesan makanan.

Saya tidak bisa mendengar apa yang dipesan Bu Wulan dan Bu Endang karena jarak tempat duduknya jauh dari saya. Tapi saya mendengar dengan jelas apa yang dipesan Pak Sitinjak dan Pak Maurid.

"Bapak apa?" tanya  Pak Sitinjak

"Apa ya..." Pak Maurid ikut bingung.

"Ini Bebek Tepi Sawah kan?"

"Iya, Pak. Pesen yuk Bebek aja."

"Bebek yang mana ya." Pak Sitinjak bingung lagi.

"Umm gatau, karena ini ciri khasnya bebek, kita harus pesan bebek, Pak." Ini Pak Maurid sangat kekeh.

"Yasudah saya Bebek Crispy, deh!"

"Ya, saya itu juga."

Akhirnya beliau berdua memesan itu. Kenapa saya melihatnya romantis, ya.

Tak lama kemudian, Rayzi dan Adit kembali. Mereka tampak bersinar setelah sholat Jumat. Rayzi tampak nyengir-nyengir melihat para guru sudah datang, sementara Adit terlihat sakit perut mau eek (Ya, Adit mengaku saat itu sedang mual.)

Setelah memesan, Bu Wulan memulai topik lagi.

"Shintya gak diajak?" tanya beliau.

Yak, Shintya adalah anak 'kesayangan' Bu Wulan karena dia seringkali terlihat tidak pake gesper, tidak pake nametag, kaos kaki beda warna/kependekan, rok cingkrang, dan wajah seperti kriminal. Taat peraturan banget, kan.

 "Kan, dia SBMPTN, Bu." jawab saya.

"Woh, iya, iya, Ibu baru ingat! Sayang dia gak daftar PPKB, ya. Ibunya waktu itu marah-marah juga, tuh, dia mengundurkan diri dari PPKB, huh, payah!"

Bahkan gaada Shintya disini pun Bu Wulan tetep marahin Shintya.

Bunga udah ngakak sendiri inget gimana betapa akrabnnya Bu Wulan dengan Shintya ini.

"Sebenernya Shintya itu pinter, lho! Pinter dia! Cuman dia itu males itu lho! Saya tahu itu soalnya Shintya, kan, dulu teman Bintang pas SD! Beuh pinter dia saingannya Bintang!" ujar Bu Wulan berapi-api dengan logat Jawa-nya yang kental.

"Iya, Bu. Dia emang pinter, apalagi Kimia-nya. Saya sering minta ajarin dia, dia bisa dan ngajarnya enak. Tapi waktu itu parah banget dah, Bu!" Saya curhat.

"Kenapa kenapa?"

"Kan disuruh ngerjain latihan UN sama Bu Heni, MTK tuh, Bu. Suruh ngerjain di essay pake cara. 25 nomor dengan semangat saya kerjakan. Saya bangga Shintya ikut ngerjain dan dia tumben tumbennya anteng. Ternyata ga lama kemudian, dia bilang, "Misi jink, tangan lu nutupin". Ternyata sedari tadi dia nyalin jawaban saya selagi saya ngerjain, Bu. Sedih."

Seluruh kepala menggeleng.

Pak Sitinjak ketawa-tawa, sebagai guru MTK, hal ini bukanlah suatu hal yang patut ditertawakan, Pak.

Kemudian pelayan membawakan Lemon Tea segar dan bertanya, "Lemon Tea?"

Tidak ada jawaban.

Semua bingung.

"Lemon Tea?" sang pelayan mengulang.

Masih tidak ada jawaban.

Kemudian karena semuanya tampak bingung, Pak Maurid dengan bijaknya berbicara,

"Bapak ini mungkin yang pesan." ujar beliau seraya mencolek lengan kanan Pak Sitinjak.

Pak Sitinjak menoleh ke pelayannya, kemudian baru beliau panik.

"Oh iya! Iya! Sini, sini."

KOK YANG INGET PESANANNYA MALAH PAK MAURID DAH.

Kemudian, setelah itu, pelayan memberi gula cair yang diletakkan di gelas kecil. Pak Sitinjak menatap gula itu menantang.

"Padahal Bapak ga pake gula," ujar Pak Sitinjak pada saya, kemudian menatap gulanya kembali, "Bapak tidak butuh gula!" tiba-tiba beliau ngamuk.

"Yaudah gausah dimasukin ke minumannya, Pak!"

"Pantang ini Bapak pake gula!" kenapa jadi marahin gula, sih, Pak?!

"Yaudah Bapak masukin aja Lemon Tea-nya ke gulanya terus minum dari gelas gulanya!"

Kemudian beliau hampir melakukan apa yang saya pinta, sebelum beliau sadar.

"Ah, apaansih, kamu."

Pak. Plis.

Kemudian makanan para Tuan dan Nyonya besar sudah datang. Kami para pemuda pemudi makan belakangan. Kami solid.

Setelah beberapa lama mendahulukan para tetua, saya menyuruh Rayzi memanggil pelayannya.

"Ah, jauh..."

"Manja lu, Zi! Panggil ih!"

"Tardulu, Mir, itu lagi disitu...-tuh kan dia dipanggil orang."

"Ah lu lama sih!"

Kemudian Rayzi menatap datar pelayan pria itu, kayaknya ga niat samasekali manggil, deh.

Kemudian, pelayan wanita lewat di depan ruangan kami.

"MBAK MBAK MBAK!!!!!!" Rayzi tiba-tiba semangat manggil.

Saya ngelirik Rayzi yang cengar-cengir.

"Giliran cewek aja lu cepet, Zi."

"Ya maap, getaran hati."

Kemudian saya mendengar suara tawa Pak Sitinjak dan Pak Maurid kompak. Dengan kompak mereka menjawab,

"Lelaki memang seperti itu, Mira!" seru Pak Sitinjak.

"Ya, itu memang sudah seperti itu, namanya naluri lelaki!" seru Pak Maurid.

Rayzi kemudian meneteskan air mata atas pembelaan yang diberikan kedua gurunya.

Ini menjelaskan Pak Maurid dan Pak Sitinjak sering seperti Rayzi waktu muda dulu.

Kemudian kami memesan makanan dengan antusias, karena perut kami sudah sangat lapar.

Setelah mengulang pesanannya, Mbak-Mbaknya bertanya, "Ada lagi pesanannya?"

Kami berempat lihat-lihatan, kemudian menggeleng.

"Baik," sang pelayan menoleh ke arah Pak Sitinjak dan Pak Maurid, "Bapak, bisa saya angkat, ya, piringnya?"

ANJIR KAPAN MEREKA NGABISIN MAKANANNYA? CEPET BANGET BUSET!

 Saya melirik Bu Endang dan Bu Wulan masih asyik menyantap makanannya.

Pak Maurid dan Pak Sitinjak bukan manusia.

Setelah makan, saya bisa melihat Mama, Bu Endang, dan Bu Wulan membicarakan 'masalah' yang membuat mereka berapi api membicarakannya. Saya dan Bunga mencoba mendengarkan, cuman ga ngerti. Rayzi tidak acuh. Adit apalagi, sebentar lagi sepertinya akan muntah.

Bu Endang cerita dengan berapi-api, Mama saya nanggepin dengan berapi-api, Bu Wulan nyemangatin mereka berdua dengan berapi-api.

Saya bingung. "Ngomongin apaan, sih?" Saya sebenernya nanya ke diri sendiri, kalo bisa yang jawab Bunga. Eh, yang jawab, serong kiri saya.

"Masalah Ibuk Ibuk, Mir. Biasa." ujar Pak Maurid.

"Lah, kan, Bapak itu Bapak-Bapak."

"Ya, kedengeran sampe sini soalnya."


Singkat cerita, kami sudah selesai makan. Porsinya besar, saya sepertinya tidak sanggup untuk makan dua hari kedepan. Bahkan saya memberikan setengah dari ayam saya (yang ukurannya kayak godzilla itu) pada Rayzi yang masih laper. Bisabisanya njir.

Bunga pun sudah tidak kuat lagi. Dia porsinya kayaknya dinosaurus. Banyak banget jir diliatnya.

"Aduh mir ini porsinya gede banget tapi bikin penasaran!" ujarnya, masih menyantap makanannya

INI ANAK KALO NGOMONG GAPERNAH NYAMBUNG.


"Sumpah deh, Mir, ini enak banget gila. Lebih enak daripada bumbu yang di Ubud aslinya. Mantep banget, Mir!"

Bahkan lagi makan aja dia masih banyak ngomong.

"Sumpah Vito gadanta banget jir"

Lagi makan aja tetep menghujat Vito. Bener-bener ini anak.

Kemudian, Pak Sitinjak tiba-tiba memanggil saya,

"Mira,"

"Kenapa, Pak?"

Wajahnya serius.

"Kau sudah kirim itu foto ke Pak Panjaitan?" tanya beliau.

Oh, ya, itu.

Jadi, setelah pengumuman SNMPTN, 3 hari kemudiannya saya ke sekolah lagi dan selfie bertiga sama Pak Sitinjak dan Pak Maurid. Kemudian kami bertiga kembali foto pas wisuda. Karena saya cuma punya BBM Pak Sitinjak (yang fungsinya cuma buat jasa kirim foto doang), saya belum mengirim fotonya ke Pak Maurid, karena saya gapunya kontaknya, dan saya kira, sebagai sahabat yang baik, Pak Sitinjak akan mengirimkannya kepada Pak Maurid.


"... Jangan bilang Bapak belum kirim fotonya."

"Belum, lah, biar saja dia yang penasaran."

"Ih, Bapak jangan pelit gitu dong!"

"Dia tidak minta kau, kan?!"

"Kan, saya nitip Bapak! Kirain Bapak sebagai teman yang baik akan mengirim langsung ke Pak Maurid!"

"Enak saja!"

"Bapak jangan pelit!"

Pak Maurid, wajahnya sudah pasrah, menatap wajah Pak Sitinjak dengan tatapan melas.

Pak Sitinjak tampak mengerti tatapan itu.

"Tidak, tidak."

Pak Maurid sedih.

"Setiap Pak Panjaitan mau lihat fotonya, Bapak tutupi layar HP Bapak itu."

"PELIT BANGET."

Kemudian, Pak Maurid malah ngadudomba. "Foto kita sebenernya di delete semua tau, Mir."

Sekarang Pak Sitinjak berontak. "TIDAK!!!!"


Ujung-ujungnya mereka berantem karena foto yang tidak kunjung dikirim.


Gamungkin saat ini saya teriak "DIAAAAAAAM!!!!!!!!" ngeri SKHUN gua ditahan.


Akhirnya saya meminta kontak Pak Maurid dari Deen, dan memutuskan untuk mengirimkannya sendiri daripada beliau harus cakar-cakaran sama Pak Sitinjak.


Melihat itu, Bu Endang cerita ke Mama saya,

"Aduh, Bu, ini berdua, ya, kalo udah jam makan siang, pasti mereka ngilang berdua aja gitu, Bu. Ngilangnya berduaan lagi! Aduh udah apal saya ini Pak Maurid sama Pak Sitinjak."

Bu Wulan meng-iya-kan.

"Iya, nih! Mereka kayak Upin-Ipin!"

Mama ketawa saat melihat Pak Maurid dan Pak Sitinjak malah sibuk sendiri sama minuman mereka, "Wah, yang Upin yang mana yang Ipin yang mana, nih?!" Mama mulai ngaco.

Mama, apakah itu penting?

Ah, mengingat lagi LINE-an sama Deen, saya memutuskan buat LINE Call sama dia.

Jadi kami berencana buat vidcall, biar Deen bisa ngobrol sama Pak Maurid, guru idolanya.

Rayzi, Adit, dan Bunga mendukung saya nelfon Deen. Kami cekikikan berempat. Begonya, kami cekikikan sambil ngelirik Pak Maurid dengan tatapan jahat, kayak kami akan memasak Pak Maurid hidup-hidup.

Pak Maurid merasa diperhatikan.

Beliau menatap kami bingung, panik, dan mungkin feeling beliau mengatakan bahwa beliau akan dimasak hidup-hidup.

"Kenapasih?" tanya beliau.

Kami malah tambah ketawa. Ini bener-bener kayak orang jahat jir.

Pak Sitinjak ikut nanya, "Ada apa?"

Kemudian saya jawab, "Jadi... Pak Maurid ini... Punya... HIHIHIHIHI." KOK GUA KAYAK SCHOOLGIRL DI ANIME ANIME GITUYAK JADINYA.

Kemudian, Rayzi menuntaskan, "...Penggemar gelap, Pak. HIHIHIHIHI." Nah kalo ini kebiri aja napa.

"HIIHIHIHIHIHIHIHI" Bunga ikut-ikutan.

"HIHIHIHIHIHIHI." Ini saya yakin banget Adit ketawa untuk menutupi kedoknya yang lagi kebelet eek.

Pak Maurid bingung.

Kemudian saya menelfon Deen, tapi gadiangkat.

Nelfon kedua, ga diangkat.

Saya mengutuk Deen.

"U Shit."

Ya kira-kira itulah kata-kata yang suka kami tulis kalo lagi TMTday.

E, tiba-tiba Deen nelfon saya balik! WOWWWW ALL HAIL U SHIT

Saya mengangkat telfonnya, dan memperdengarkan suara Deen yang lemes.

"Deen?"

"He? Apaan?"

"Siap ga lu Deen?"

"Aaaah~"

"IH APAANSIHLU!"

"HEHEHEHEHEHEHEHEHEHE"

"Deeeen ini mau ngomong sama Pak Mauridnya gak?"

"Ah malu~"

"Idih najong gapantes malu!"

"Ah miraaak~"

"Gue kasih ke Pak Maurid ya?"

"EHHH EHH TARDULU!!! WOYYY!!!"

Tanpa mempedulikan jeritan Deen, saya memberikan HP saya pada Pak Maurid yang kebingungan.

"Halo?" ujar Pak Maurid, suara ganteng.

Kami berempat ngakak entah mengapa.

"... Lagi makan siang sama Mira." KOK SAYA DOANG PAK?!

Ini berarti Desty barusan nanya 'Lagi ngapain, Pak?'

"... Kok gaikut makan kesini?" ujar beliau selanjutnya.

"...Ohohoh lagi belajar. Ya. Hehehe. Yasudah, yasudah belajar, ya. Ini Mira, nih."

UDAH? GITUDOANG? PANJANG MENURUT GUA.

Akhirnya Deen saya tampilkan di vidcall wajah Pak Maurid sama Pak Sitinjak lagi ngobrol, kemudian saya matikan vidcallnya.

Eh Deen malah ngeLINE

"Pa Tinjak pake batu akik ya, hihihihi."

Ye kopang.

Akhirnya, karena bosan, saya selfie sama Bunga, Rayzi, dan... karena Adit jauh, saya cuma mengikutsertakannya dalam video Snapchat absurd bersama Pak Sitinjak yang lagi absurd-absurdnya saat itu.

Kemudian, saya bilang ke Rayzi, "Gelap jir."

"Ya emang gua gelap!"

Kemudian, ketika saya menurunkan HP saya setelah selfie bersama Si Padang, saya dan Rayzi terkejut melihat Pak Maurid, yang absurdnya, bakar kertas kecil pake api, kemudian berkata,

"Sini Bapak terangin biar ga gelap."

APA MOTIVASI BAPAK MELAKUKAN INI SEMUA, SIH?!!!!!!!

Pak Sitinjak, seperti sudah punya feeling restoran ini bakal kebakaran, memundurkan tubuhnya jauh-jauh ke sandaran kursi, sambil memainkan kacamatanya--yang harusnya gabisa dimainin.

Mungkin Adit takjub pada Pak Maurid yang aksinya seperti debus saat itu.

Tapi beberapa lama kemudian, api menjalar cepat, sesekali menyentuh kecil jemari telunjuk Pak Maurid.

Rayzi paling panik.

"PAK ITU MATIIN PAK AWAS KENA TANGAN BAPAK PANAS! PAK!!!!! MATIIN HAYOLO HAYOLO HAYOLO PAK!!!!!!!!!!!!!!!"

Pak Maurid mulai panik.

Saya panik juga. "PAK TIUP!! PAKKK TIUP HOAA BAPAK JANGAN BAKAR RESTORAN INI!!!!! PAK!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!"


Ini ga lucu kalo kita semua kebakar disini karena Pak Maurid mau nerangin dua orang yang lagi selfie, dengan kertas yang digulung dan dibakar (yang samasekali tidak membantu, trims) dan beliau menolak untuk meniup apinya dengan alasan "takut muncrat muncrat apinya."

 Kami berempat panik, kami hampir meminta air untuk menyiram kertas di tangan Pak Maurid se-Pak Maurid-Pak Mauridnya.


Kemudian, Pak Maurid meraih tisu, dan beliau menutup apinya dengan tisu tersebut dengan menekannya pada tangannya.

Debus beneran.


Beliau nyengir. Antara lega, sama berhasil stay cool.


Sementara Ibu-Ibu di pojok sana masih tidak sadar bahwa tadi hampir kebakaran. Mereka masih asyik mengobrol, tapi kami tidak mengerti apa yang mereka perbincangkan.


Seraya memakan es kopyor yang kami pesan, Pak Sitinjak, seperti biasa, tidak bisa diam. Tiba-tiba, beliau teriak, panik sendiri.

Kirain apa, ternyata beliau menunjuk gambar di atas meja, yang bergambar petani dan terdapat banyak bebek.

"INI BEBEKNYA TADI BANYAK!!!!!!!! SEKARANG TINGGAL SEGINI!!!!!" Pak Sitinjak teriak, panik sendiri.

Pak Maurid, bukannya menyadarkan sahabatnya, beliau malah ikut panik. "MANA?!!!!!!!!!"

"INI PAK!!!!! TUH INI YANG INI MASIH ADA BEBEKNYA!!!!!!!! TADI BAPAK MAKAN APA?!!"

"MANA BEBEK YANG MANA?!!" Pak Maurid ngeliat gambar taplaknya Pak Sitinjak, padahal taplak punya beliau sama punya Pak Sitinjak sama aja gambarnya.

Pak Sitinjak menunjuk gambar bebek putih yang lagi bahagia berjalan. "INI MASIH ADA BEBEKNYA!!!!!!!!!!"

"OH ITU YANG DIPOTONG TADI BEBEKNYA YANG HITAM!!!!!!!!!! INI YANG PUTIH MASIH ADA!!!!!!!!!"

"WAH TAPI KAN SEHARUSNYA TIDAK ADA INI JUGA KAN BANYAK YANG MAKAN!!!!!!!!"

"YA MUNGKIN YANG DIPOTONG YANG HITAM SEMUA!!!!!!!!"

Kemudian untuk beberapa menit, beliau-beliau sibuk menunjuk bebek ini dan bebek itu. Tangan mereka menyeberang ke meja satusamalain.

Ini yang paling muda, kan, kami berempat.

Kok yang kelihatan childish..........................

Seharusnya saya beneran traktiran di McD.

Setelah itu, saya teringat sesuatu.

"Pak Tinjak, kita belum sempet nyanyi bareng..."

Pak Tinjak senyum, "Yah... Iya, Mira, tapi momennya sudah lewat, ya.. Harusnya wisuda kemarin kita nyanyi berdua."

"BAPAAAK:("

"MIRAAA:("

"BAPAAAK:("

"MIRAAA:("

Engga gitu.

Kemudian, Pak Maurid nimbrung, "Kau harus cari momen baru, berarti! Momen yang lain yang penting supaya Pak Sitinjak bisa nyanyi sama kau di momen itu!" seru Pak Maurid berapi-api. Pak Sitinjak bingung, saya lebih bingung.

"Momen lain, Pak?"

"Ya, contohnya, saat kau menikah."

"WESEAEAAJHAIH"

Salting w. Pacar aja gapunya.

Pak Sitinjak setelah mendengar itu, beliau tiba-tiba semangat.

"Ah, iya! Mira, kalau kau menikah nanti, Bapak ya, yang nyanyi di acara pernikahanmu!"

Saya bingung disini harus sedih atau ketawa...

Kemudian ketika saya diem, mencerna kata-kata beliau, saya cuma memperhatikan Pak Maurid dan Pak Sitinjak kembali berantem--kini mempermasalahkan kapan waktu yang tepat saya untuk menikah.

Pak Maurid maunya saya nikah lima-enam tahun lagi, karena kata beliau, empat tahun lagi itu saya terlalu cepat.

Sementara Pak Sitinjak, maunya saya cepat-cepat menikah, karena beliau mau cepat-cepat nyanyi di pernikahan saya, dan takut beliau keburu pensiun.

"BIARKAN DIA NIKAH CEPAT, PAK, KEBURU KITA PENSIUN!!!!!!"

"JANGAN TERLALU CEPAT, LAH, PAK!!!! BIARKAN DIA BERKARIR DULU!!!!!"

"LAH NANTI SAYA NYANYINYA GIMANA KEBURU PENSIUN!!!!"

Ya, lagi-lagi disini saya gamungkin ngomong "DIAAAAM!!!!!!!!!!!" karena dikhawatirkan SKHUN saya akan ditahan.


Saya, Rayzi, dan Adit sedari awal ambis banget buat main di Timezone. Kami sudah membayangkan wahana apa saja yang ingin kami mainkan.

"Pengen main motor-motoran gua!" seru Rayzi

"Ih kayaknya seruan tembak-tembakan dah, Zi!" Adit semangat


"Gua kayaknya lebih mendukung lu main di Dance Floor itu, Zi." saran saya.

"AH MIR BARU MAU BILANG. HE."

"Yaudah lu beli yak kartu sekalian isi-isinya."

"Iyak. Gua ama Adit patungan beli kartu, lu beli saldonya ya! Thanks Mir!"

Padang.

 "Eh ajak guru-guru, dong!" Rayzi mulai absurd, "gua mau ngajak mereka main motor-motoran. Mau main gua ama Bu Endang."

 Disini Rayzi sudah mulai kehilangan akal. "Zi. Tolong. Bu Endang sama Bu Wulan pake kebaya encim. Coba lo bayangin dengan seksama kalo beliau-beliau main motor-motoran sambil teriak-teriak di Timezone."

Rayzi tampak berpikir sejenak. "Ya, miring, lah, duduknya!"

MAKSA ABIS JIR.

"Kayaknya lebih asik kalo Pak Maurid sama Pak Sitinjak nari dah di Dance-Dance-an itu." Rayzi semangat.

"Zi, sudah, lo mau biayain Rumah Sakitnya?"

"....Enggak."

Pengalaman joget bersama guru terakhir itu pas Hari Guru 2013. Pak Sutadi joget Caesar dengan semangat... sebelum beliau berteriak "ADUH!" dan memegang punggungnya. Sayang sekali video fenomenal itu terhapus dari HP saya.

Enggak. Itu tidak bisa terjadi pada Pak Maurid dan Pak Sitinjak. Apalagi ini jogetnya ala ala breakdance gitu bukan hanya joget Caesar. Ngeri SKHUN kita ditahan.

Sayang sekali harapan kami pupus begitu saja mengetahui Timezone di Citos udah gak ada....

Rayzi paling terpukul, dia mau main UFO catcher, ingin menangkap Berbi-Berbian.

Kemudian setelah makan-makan, kami foto-foto sejenak di depan restoran.

Lagi-lagi, Pak Maurid dan Pak Sitinjak berantem.

"Mira, kirim langsung ya, fotonya!" seru Pak Sitinjak bersemangat. Saya baru mau mengiyakan, tiba-tiba ada yang nyaut.

"Kirimnya ke Bapak aja, Mira!" seru Pak Maurid.

"Enggak, Mira, ke Bapak aja!"

"Ke Bapak saja, ke Bapak ini tidak usah!"

Lagi-lagi, saya tidak mungkin teriak "DIAAAAAAAAAAM!!!!!!!".

Capek.
 
Kemudian, kami pun salam salaman sama guru-guru dan mengucapkan salam perpisahan dan salam sukses. Perpisahannya sangat mengharukan sampe sampe saya lupa udah salim sama Pak Sitinjak sebanyak 5 kali.

Sampai akhirnya Bu Endang dan Bu Wulan mau sholat Dzuhur dulu, dan pria-pria machonya menunggu dengan gentleman di lobby.

Kemudian Mama menghancurkan salam perpisahannya.

"Mir, kamu disini dulu, ya, temenin Pak Maurid sama Pak Sitinjak dulu, Mama mau nungguin tadi pesen bebek. Bentar, ya!"

Saya tatap tatapan sama Pak Sitinjak.

KENAPAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!???


Bunga dan Rayzi meninggalkan saya dan Adit bersama Pak Sitinjak dan Pak Maurid. Bunga dan Rayzi mau ke iBox, nanyain apa yang terjadi dengan iPodnya Bunga.

Saya pun harus bertahan beberapa menit mendengar Pak Sitinjak mengeluh ngantuk dan kekenyangan dan mau tidur!!!!!!!

Dan Adit bukannya mencairkan suasana dia malah bengong!!

DIT SAY SOMETHING IM GIVING UP ON YOU!!!!!!11!11

Saya melihat ada semacam figura Keyboard di sebuah etalase kaca di lobby Citos.

"Pak, ada keyboard, nyanyi, deh."

"Jangan disini, ah."

"Bapak ama Pak Maurid ga pernah nyoba duet nyanyi bareng?"

"Ah, sudah! Tidak enak sama dia. Suara kita soalnya sama. Jadi tidak enak."

Pak Maurid lagi-lagi memasang wajah pasrah.

"Lha, Bapak kan bisa jadi Bass, Pak Maurid Tenor-nya."

"Ya iya, tapi setiap kita nyanyi, pasti Bapak keikut jadi Tenor, ahahahahaha. Tidak cocok kita memang."

Gacocok darimananya.

Kemudian setelah beberapa menit, Mama saya kembali dari restoran membawa beberapa bebek-bebek. Kami pun pamit beneran, dan saya dadah-dadah sama Pak Maurid dan Pak Sitinjak. Kami pun berjalan menjauh. Rasanya seperti drama Korea, padahal lebih kayak Sitkom.

Setelah foto-foto anak Band, kami pun berjalan pulang.




Mungkin kapan-kapan, kita bisa makan bareng lagi, Pak, Bu? :)







Asal jangan mainan api, plis.


 
Hampir bakar restoran.


                                                                   Ada apa dengan bebek?

YAAAASSSS

Pak Maurid, tegang hampir bakar se-Citos.

Ini Bu Endang, bisa dilihat dari kebayanya kalau beliau suka warna Ungu

Shintya, dapet salam dari Bu Wulan, ayo lambaikan tangan ke layar Anda!

Ah capek w

HAHAHAHAHAHA ADIT SUCH A NICE FACE YOU HAVE THERE MAN
Terimakasih, Mb Bunga, atas jasa pemotretannya.






2 komentar: